Bicara soal
emosi cinta rasanya jauh lebih mudah mencintai orang saat orang tersebut kaya,
termashyur, terkenal, pintar, menyenangkan, cantik / tampan, atau menguntungkan
kita. Tatkala orang yang harus kita cintai tidak mungkin memenuhi harapan ideal kita, dibutuhkan suatu
“cinta kasih dan hati yang besar” untuk
menerima orang tersebut apa adanya. Tapi, inilah sesungguhnya dari cinta tak
bersyarat.
Berikut ini
adalah sebuah kisah tragis mengenai betapa sulitnya mencintai tanpa syarat.
Ceritanya mengenai seorang serdadu Amerika yang baru saja tiba dari Perang
Vietnam. Hari itu juga, tentara itu menelepon orangtuanya yang tinggal di San
Francisco. Kebetulan yang mengangkat telpon adalah ibunya yang begitu gembira
mendengar anaknya.
Tentara itu
berkata kepada ibunya, “Bu, sebentar lagi saya akan pulang. Tapi, saya
mempunyai satu permintaan. Saya punya seorang teman yang akan saya bawa turut
bersama dengan saya.”
Si ibu
dengan senangnya berkata, ”Boleh saja. Kami akan senang sekali bertemu
dengannya”.
“Tapi, Bu,
ada hal penting yang ingin saya
ceritakan tentangnya. Dia mengalami luka parah saat perang. Tanpa sengaja ia
telah menginjak ranjau yang menyebabkan satu tangan serta kakinya hilang.
Sekarang dia tak tau harus pergi kmana. Saya ingin dia bersama kita”, demikian
kata anaknya.
Setelah
terdiam sejenak, ibunya membalas, ” kami turut menyesal tentang temanmu itu.
Tapi, mungkin kita tidak bisa carikan tempat lain dimana dia bisa tinggal”.
Dengan nada
sedikit ngotot sianak mulai berkata, ”tidak, ibu, saya ingin dia tinggal
bersama dengan kita”.
Si ibu mulai
membalas dengan sedikit keras, ” Nak, kamu tidak tahu apa yang kamu minta.
Orang dengan kondisi cacat seperti itu akan menjadi beban berat untuk kita. Kita sendiri punya kehidupan yang harus kita
jalani. Dan kita tidak mungkin membiarkan orang seperti ini mengganggu
kehidupan kita. Ayah dan ibu pikir, lebih baik kamu pulang dan lupakanlah
temanmu itu. Dia pasti akan menemukan jalan hidupnya sendiri”.
Setelah
mendengar jawaban ini, telepon ditutup oleh anaknya. Hingga beberapa hari
lamanya, kedua orang tua ini tidak mendapatkan kabar apapun soal anaknya. Suatu
hari, mereka justru menerima telepon dari kepolisian di san Francisco. Anak
mereka ditemukan meninggal setelah jatuh dari gedung. Diperkirakan anaknya
telah bunuh diri.
Dengan
sepenuh perasaan sedih, mereka bergegas menuju kerumah sakit yang ditunjukkan
oleh polisi, dimana mayat anaknya diletakkan. Dengan berhati-hati mereka
diminta untuk mengidentifikasi apakah
dia benar-benar anaknya. Mereka memang mampu mengenali raut wajah anaknya yang
telah meninggal. Mereka amat terpukul, tetapi yang lebih membuat mereka sedih
lagi, ternyata anaknya hanya mempunyai satu kaki dan satu tangan!
Betapa sikap
dan prilaku orang tua ini mencerminkan sikap dan prilaku kebanyakan dari kita.
Tanpa sadar, kita lebih mencintai dan lebih mau menerima orang lain yang Sesuai
harapan kita dan keinginan kita. Celakanya, kainginan ini tidak sekadar
harapan, tetapi juga merupakan sebuah tuntutan. Inilah yang oleh Ken Keyes,
dalam bukunya The Power of Unconditional Love dikatakan sebagai sumber
ketidakbahagiaan emosional manusia.
Ken Keyes
menelaskan sumber perasaan yang tidak menyenangkan (Unpleasant emotion) seperti
rasa jengkel, marah , benci sebagai akibat pemograman didalam otak kita yang
berisi tuntutan-tuntutan dari orang-orang disekeliling kita. Karena program
diotak kita lebih bersifat tuntutan (demand) daripada pilihan (preference),
kita terus- menerus mengalami perasaan tidak puas dalam hubungan kita dengan
orang lain. Kita menuntut agar orang lain berfikir, bertindak, serta berprilaku
seperti tuntutan kita.
Untuk
mengatasi hal itu, ada sebuah tips sederhana bagi Anda. Daripada menuntut,
mulailah menggunakan bahasa-bahasa pilihan yang ternyata lebih baik. Misalnya
dari pada memaksa orang dengan berkata “kamu harus rapi. Kamu mesti datang
lebih pagi”. Katakanlah begini :” Saya lebih suka kalau kamu rapih, saya lebih
senang kalau kamu datang lebih pagi’ . Kalimat-kalimat itu tidak
memaksa(demanding), tapi lebih menunjukkan pilihan kita (preference). Dengan
pola kalimat seperti itu , orang tidak merasa dipaksa, tapi diminta secara
baik-baik untuk melakukan apa yang kita inginkan.
Belajar dari
kisah serdadu yang bunuh diri itu, ingatlah bahwa rasa kasih sayang yang
diberikan dengan syarat-syarat pada dasarnya bukanlah kasih sayang. Tapi bisnis.
“ be
emotionally intelligent”. Copy right Anthony Dio Martin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar